Selamat bersua disini

Selasa, 03 Agustus 2010

Pengalaman Si Baret Ungu Menwa Jogjakarta







Sebagai mantan personil Resimen Mahasiswa (Menwa) Batalyon 5 AKPRIND Yogyakarta, saya memiliki beberapa pengalaman menarik dan merupakan kenangan yang indah diera tahun 80-an.

Pertama : Kenangan saat Latihan Dasar (Latsar) Yudha III yang seakan baru kemarin berlalu dan masih terbayang dipelupuk mata. Semua alumni Menwa (Resimen Mahasiswa) pasti punya juga kenangan serupa namun mungkin saking indahnya kenangan itu sehingga sulit untuk diungkapkan.
Saya mencoba mengungkap kembali sebuah kenangan menakutkan tapi juga lucu saat menjalani Latsar Menwa tahun 1980 di Wonosari.
Ketika itu merupakan pekan terakhir latsar, calon Menwa Baret Ungu mulai digiring long march menuju Jogja. Saat itu tepatnya malem jum'at kliwon lagi pula pas hujan gerimis, pasukan di kumpulkan di sebuah lapangan desa masih dalam wilayah Gunung Kidul. Kondisi medan latihan becek sekali, sehingga kami tak mampu bergerak lincah. Apalagi dengan bobot ransel dan senapan SP7 ditambah beratnya sepatu lars yang "ngedibel" ketempelan tanah liat.
Di pos pemberangkatan, kami diperintahkan menghapal sandi dan hanya boleh disampaikan kepada petugas penerima setelah masing-masing mencapai pos terakhir.
Satu persatu calon menwa dilepas dalam kegelapan dengan berpegang pada kabel. Kabel itu panjangnya hampir 1 Km. Setelah 10 menit perjalanan teman yang didepan maka sampai pada giliran saya melangkah. Agar lebih leluasa berpegang pada kabel pemandu maka senapan saya sangkutkan dibahu.
Pada awalnya saya masih happy-happy saja walaupun kabel itu meliuk ke kolong jembatan lalu nanjak di kecuraman tebing.
Namun jantung mulai deg-deg byar.... saat kabel yang kupegang mengarah ketanah lapang tak berpohon, ... itu rupanya areal pemakaman warga. Dari kemerlap bintang saya bisa melihat bayangan patok-patok kuburan serta sebuah gubuk kecil persis ditengah-tengah areal pemakaman. Gubuk itu biasanya dipakai untuk tempat menaruh kurung batang (keranda jenazah) ... lalu kabel yang kupegang mengarah ke gubuk itu.
Sekalipun sadar bahwa calon menwa sedang dilatih berani menghadapi pocong-pocong... tak urung yo merinding juga, apalagi diselingi bau asap kemenyan menyesakkan dada.
Saya terus melangkah masuk areal pemakaman itu. Setelah tepat berada didepan gubuk tersebut saya menoleh ke kiri dan kanan sambil uluk salam : "assalamu'alaikum ya ahlad diyar minal muslimin wal muslimat" (hehehe... untung ngga terdengar jawaban), saya lantas merunduk untuk melangkah masuk gubuk yang atapnya cuma sebatas leher. Tapi kok yo aneh ... terasa berat, sepertinya ada tenaga yang menahan ransel sehingga saya tak bisa maju. Dalam pekatnya malam itu, saya sempat berpikir ... "jangan-jangan ransel ini ditarik genderuo ?!", tapi ketika kutoleh kebelakang... ngga ada sesuatu apapun. Aku kembali mencoba melangkah walau terasa berat tapi kulawan dengan tenaga yang lebih besar. Tiba-tiba... "mak grupyaakk !!", sebuah kaso patah dan sejumlah genteng berjatuhan, membuat suasana heningnya kuburan menjadi gaduh seketika. Aku baru sadar... ternyata tadi aku ngga bisa jalan kedepan karena moncong senapanku nyangkut dikaso itu.... weleh, ... weleh, ... weleh.
Aku segera ambil langkah seribu, maaf bukan karena takut dengan pocong-pocong itu... aku takut pelatih tiba-tiba nongol dan nuntut supaya kupasang kembali genteng-genteng yang barusan kujatuhkan.

Kedua : Saat berlangsung kegiatan Latsar Yudha 3 tahun 1980, kami sempat bermukim di hutan jati wilayah Gunung Kidul - DIY untuk melaksanakan apel kesiapan survival. Dalam acara tersebut instruktur mengajarkan cara mengenali ular berbisa, ular yang tak berbisa termasuk tata cara menjinakkannya. Pelaksanaan survival tersebut berlangsung sehari semalam.
Singkat cerita, saat menjelang malam, tiba-tiba ada seorang menwa putri yang cantik jelita, berteriak histeris ... "tolooong, tolooong ... ada uler dipunggungku !".
Sontak teman-teman berlarian mendekatinya ingin menolong sambil bawa pentung buat gebuk.
Sebagian besar menwa perantau dari luar jawa mengira bahwa yang dimaksud uler itu adalah ular. Rupanya cuman ulat keket yang segede klingking. Ulat tersebut tidak berbahaya, cukup dislentik dengan telunjuk saja mati.
Menwa putra yang saat itu bersemangat ingin menolong, akhirnya malah jadi malu ati, mereka baru tau bahwa ulat bahasa jawanya uler, sedangkan ular bahasa jawanya ulo.

Ketiga : Saat dilatih bertahan hidup atau survival, merupakan hari-hari terakhir kegiatan pendidikan dasar menwa. Ketika itu pasukan kami sudah di-inapkan semalaman disebuah perbukitan hutan jati ditepi kali masih dalam kawasan Gunung Kidul.
Kami semua tidak ada yang mengetahui perihal Survival itu seperti apa dan kapan. Pagi hari pasukan menwa sudah dibangunkan dan apel pagi. Lalu digeledahi satu persatu. Dompet dan uang juga makanan dalam ransel dikumpulkan pada pelatih.
Selanjutnya pasukan dilepas begitu saja dan berdiam diri diatas bukit dengan berbekal garam sesendok dan korek api. Biasanya kami menerima sarapan pagi tapi hari itu tidak ada yang dimakan, bahkan air putih dalam peples-pun sudah ditumpahkan tadi.
Para pelatih yang biasanya membaur bersama kami telah menyingkir entah kemana. Semua calon menwa pada bengong dan mulai gelisah merasakan lapar.
Seorang teman dari mahasiswa Semarang bertanya pada saya tentang apa yang harus diperbuat untuk mengatasi rasa lapar itu.
Akhirnya kami berdua sepakat untuk nyari makan kebawah bukit dekat kali. Saya sekalian nyebrang kali untuk memetik dedaunan singkong, kaos saya copot untuk wadah dedaunan. Sementara temanku itu sibuk mengumpulkan bekicot.
Sejenak kami berdua asyik menggetok tempurung bekicot dan mencuci bersih lendir-lendirnya di kali. Sempat pula teringat untuk membawa air kali dengan dua topi baja (helm) sebagai wadahnya.
Tanpa diduga kegiatan kami itu diketahui pelatih. Kami berdua diteriaki dari jarak sekitar 100 meter agar mendekat. Tapi mana mungkin kami mau karena bakal kena sanksi, maka dari itu kami lebih memilih lari... lari dan terus lari walaupun dikejar dan ditembaki.
Walhasil ... sesampai diatas bukit, air yang diwadahi dalam dua topi baja itu tinggal separoh lagi karena tertumpah-tumpah saat kami bawa lari.
Namun ... hati agak sedikit lega karena pelatih yang nguber-uber kami kehilangan jejak dan tak berniat nyusul keatas bukit.
Daun singkong lalu kami rebus dengan menggunakan topi baja mahasiswa Semarang sebagai pancinya. Pagi itu semua teman bergembira, ... sambil menikmati daun singkong rebus dan sate bekicot. Cacing dalam perut masing-masing teman bisa dibuat tenang untuk sementara waktu dan kamipun tertidur.
Saya terbangun setelah mencium bau semur jengkol. Rupanya seseorang menaruh sebungkus nasi rames yang masih anget dipelukanku saat aku tertidur. Terdengar suara mulai gaduh... "woy... woy... bangun woy... makan woy !".
Aku segera duduk bersila sambil membuka bungkusan. Tanpa nyuci tangan ... langsung kusantap nasi lezat itu. Hmmmm... lumayan rasanya, semur jengkol, telor ayamnya sebelah plus tempe goreng. Dalam hatiku ... ini nasi rames Gunung Kidul mantap juga, mirip nasi uduk wong betawi punya.
Sambil kami makan bareng-bareng, kutanya teman "senasib seperjuangan" yang duduk disebelahku : "kpribhen ceritane mas, kok iso enthuk pembagian sega gratis kiye' ?"
Temanku itu menjawab : "Apane sing gratis... enak temen nyong, iki sega ngutang !"
"Hahh... ngutang kpribhenlah ?!"
Dia-pun menceritakan kronologis datangnya nasi rames ke bukit survival itu begini :...
Seorang rekan kami, sesaat setelah dimulai acara survival, ... dia turun dari bukit hendak nyari makan. Ketika itu dia ketemu seorang warga desa yang akan ngarit rumput buat kambing peliharaannya.
Si tukang arit dipinjam kain sarung, baju dan ikat kepalanya untuk penyamaran. Untung simas tukang arit itu maklum dan bersedia meminjamkan.
Maka dia secepatnya ganti pakaian "penyamaran" dan segera meluncur ke perkampungan warga yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari lokasi bukit. Kebetulan dia menemukan sebuah warung nasi yang masih sepi karena baru buka.
Dia borong sebakul nasi dan minta semuanya itu dibungkus.
"Ngono ceritane !... mengko sega iki nyong bayar, nyaur ngono yo ?!" kata temanku itu sambil ngelap tangan kanannya yang bekas nasi kererumputan.
"Oke... oke... Lha... duik-e seko ngendi kok yo iso tuku sega semono okehe ?!" tanya saya lagi penasaran.
"Ono cah telu sing lolos pemeriksaan mau, ... duik-e diselempitke nang selangkangan, kuabeh pelatih rak ngerti ... hahahakhak !" jawab temanku itu sambil ketawa terkekeh-kekeh.
Wee... lahh, ... hehehe
Ngga ada aktivitas berarti yg dapat dilakukan diatas bukit itu. Kami hanya menanti dan menanti hingga hari berganti.
Rekan-rekan membuat kelompok sendiri-sendiri, sebagian ada yang tiduran dibawah ponco. Ada yang ngobrol dan ngerumpi.
Kerumunan paling rame adalah kelompok rekan yang main gaple. Gaple kertas juga lolos dari pemeriksaan karena saat itu seorang rekan mengempitnya dibawah ketiak.
Permainan gaple unik itu bersifat perorangan, bukan berpasangan. Bagi yang kalah harus ngocok kartu dan hukuman plus yaitu memikul sepasang sepatu lars dibahu. Permainan ini berlangsung tiga ronde saja lalu diganti rekan-rekan lain yang antri.
Waktu terus berlalu hingga matahari menggelincir diufuk barat, hari mulai sore. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kehadiran seseorang.... "penyamar".
Dia rekan kami dari Yon Gabungan, ... mahasiswa sibuk karena dia merintis usaha pembuatan barang2 souvenir dari kulit dan kaos sablonan. Dia saat itu terhitung sebagai menwa "Beruang".
Dia meloloskan diri dari bukit survival mulai subuh. Menyamar menggunakan kain sarung dan model tampilan orang desa. Dia lolos sampai ke jalan raya lalu naik angkot menuju jogja.
Dengan wajah berseri rekan kami yang baru balik dari jogja itu mulai membuka bungkusan oleh-oleh, ... geplak bantul beberapa bungkus, gudeg, mie instan dan satu slop rokok "duo-tigo-ampek".
Sore hingga malam itu kami bisa merasakan makan enak, merokok klepas-klepus dan melanjutkan main gaple sampai ngantuk.
Sehari semalam acara Survival Yudha 3 berhasil teratasi dengan penuh kegembiraan.
Ngga ada yg kurang pada pelatih, mrk patroli keliling bukit... tp krn anak2 Yudha 3 saat itu memang licin (kaya belut), maka saat berpapasan dg pelatih mulus saja krn kemampuan penyamaran tdk hanya pada pakaian tp juga pd gerak-gerik dll... makanya bs lolos dr pantauan.

Keempat : Saat mengikuti kegiatan Abri Masuk Desa Manunggal III di Desa Turi Sleman. Selama sepekan, personel Menwa Mahakarta Yogyakarta disediakan tempat menginap di rumah2 penduduk desa. Di rumah tempat saya menginap ada sekitar 10 rekan Menwa, kami tidur diruang tamu beralaskan terpal. Dinginnya hawa lembah Merapi terasa begitu mencokot tulang saat malam menjelang. Pekerjaan yang melelahkan sehabis menggali parit di siang hari, membuat kami cepat terlelap dan tidur pulas seusai sholat isya'. Tidak ada lagi yang ngobrol setelah makan malam, karena dimasa itu sebagian besar penduduk Desa Turi belum memiliki televisi.
Suatu malam gerimis... tepatnya malam jum'at kliwon, tengah malam kami mendengar suara jeritan anak kecil, anak bungsu dari tuan rumah. Agaknya dia sedang kesurupan. Dalam gendongan ibunya, anak kecil itu terus menangis dan berteriak-teriak : "... wedhiii, ... wedhiii ". Dia sedang melihat sesuatu yang menakutkan. Semua rekan Menwa terbangun oleh jeritannya. Ada seorang Menwa mencoba membantu dengan do'a, walaupun mulutnya sudah komat-kamit tapi tak berhasil. Satu lagi rekan Menwa lainnya yang konon punya ilmu pernapasan, mencoba menyembuhkan namun juga gagal... bahkan wajahnya keliatan pucat. "Jin yg masuk cukup kuat... dari pada aku malah ikut kesurupan lebih baik mundur", begitu ujarnya sambil menyeka keringat dingin.
Setelah menyadari bahwa Menwa ngga ada yang berhasil mengatasi kesurupan, barulah sang Ayah dari anak tersebut pergi memanggil "orang pintar desa".
Ternyata dia adalah seorang Hansip yang kebetulan sedang tugas ronda. Mas Hansip minta tuan rumah mengambilkan dua helai daun sirih dan segelas air putih. Kemudian Mas Hansip duduk berlutut menghadap ke arah selatan sambil mulutnya komat-kamit baca sesuatu. Tak lama kemudian ia berdiri lagi lalu mencelupkan daun sirih kedalam gelas dan mencipratkannya ke wajah si anak yang masih berteriak-teriak.... spontan anak itu terdiam. Sisa air di gelas ia sapukan ke wajah dan kepala sianak, tak lama anak itupun tertidur pulas.
Menyaksikan prosesi penyembuhan ini, tak satupun Menwa yang bersuara... semuanya diam dan menghela napas lega. Untuk menangani urusan kesurupan ternyata.... Hansip malah lebih Piawai dan jago dalam bidang ilmu ghaib.

Berdasarkan sekelumit pengalaman tersebut, aku ingin kiranya masyarakat Jogja mengenal lebih dekat aktifitas Menwa Mahakarta ... Si Baret Ungu itu. ******