Selamat bersua disini

Selasa, 15 Desember 2009

SEPUTAR ORGANISASI IKAUT


Alumni UT,
silahkan masuk ...

Rabu, 01 April 2009

TEKNOLOGI BETON RINGAN

PEMANFAATAN PUMICE SEBAGAI PENGGANTI SPLIT
PADA PEMBUATAN BETON RINGAN
Sejak peradaban membangun dimulai, manusia mencari sejenis semen untuk mengikat batu-batuan menjadi massa yang terbentuk dan utuh. Belum diketahui siapa yang berusaha membuat beton untuk pertama kalinya. Namun yang jelas, baik semen maupun beton, sebagaiman pula umumnya banyak bahan bangunan yang lain, bukan lah penemuan yang secara tiba-tiba muncul begitu saja, tapi berkembang secara berangsur dari berbagai upaya trial and error selama beberapa abad.
Dalam millenium yang ketiga ini manusia tidak pernah jauh dari bangunan yang terbuat dari beton. Beton merupakan materi bangunan yang paling banyak digunakan di bumi ini. Dengan beton dibangun bendungan, pipa saluran, fondasi dan basement, bangunan gedung pencakar langit, maupun jalan raya.
Kata beton dalam bahasa Indonesia berasal dari kata yang sama dalam bahasa Belanda. Kata concrete dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin concretus yang berarti tumbuh bersama atau menggabungkan menjadi satu. Dalam bahasa Jepang digunakan kata kotau-zai, yang arti harfiahnya material-material seperti tulang ; mungkin karena agregat mirip tulang-tulang hewan.
Beton adalah material komposit yang rumit. Beton dapat dibuat dengan mudah bahkan oleh mereka yang tidak punya pengertian sama sekali tentang beton teknologi, tetapi pengertian yang salah dari kesederhanaan ini sering menghasilkan persoalan pada produk, antara lain reputasi jelek dari beton sebagai materi bangunan.
Beton mempunyai kekuatan yang tinggi terhadap tekan, tetapi sebaliknya mempunyai kekuatan relative sangat rendah terhadap tarik. Beton tidak selamanya bekerja secara efektif didalam penampang-penampang struktur beton bertulang, hanya bagian tertekan saja yang efektif bekerja, sedangkan bagian beton yang retak dibagian yang tertarik tidak bekerja efektif dan hanya merupakan beban mati yang tidak bermanfaat. Hal inilah yang menyebabkan tidak dapatnya diciptakan srtuktur-struktur beton bertulang dengan bentang yang panjang secara ekonomis, karena terlalu banyak beban mati yang tidak efektif. Di sampimg itu, retak-retak disekitar baja tulangan bisa berbahaya bagi struktur karena merupakan tempat meresapnya air dan udara luar kedalam baja tulangan sehingga terjadi karatan. Putusnya baja tulangan akibat karatan fatal akibatnya bagi struktur.
Dengan kekurangan-kekurangan yang dirasakan pada struktur beton bertulang seperti diuraikan diatas, timbullah gagasan untuk menggunakan kombinasi-kombinasi bahan beton secara lain, yaitu dengan memberikan pratekanan pada beton melalui kabel baja (tendon) yang ditarik atau biasa disebut beton pratekan. Beton pratekan pertama kali ditemukan oleh EUGENE FREYSSINET seorang insinyur Perancis. Ia mengemukakan bahwa untuk mengatasi rangkak, relaksasi dan slip pada jangkar kawat atau pada kabel maka digunakan beton dan baja yang bermutu tinggi. Disamping itu ia juga telah menciptakan suatu system panjang kawat dan system penarikan yang baik, yang hingga kini masih dipakai dan terkenal dengan system FREYSSINET. Dengan demikian, Freyssinet telah berhasil menciptakan suatu jenis struktur baru sebagai tandingan dari strktur beton bertulang. Karena penampang beton tidak pernah tertarik, maka seluruh beban dapat dimanfaatkan seluruhnya dan dengan system ini dimungkinkanlah penciptaan struktur-struktur yang langsing dan bentang-bentang yang panjang.
Beton pratekan untuk pertama kalinya dilaksanakan besar-besaran dengan sukses oleh Freyssinet pada tahun 1933 di Gare Maritime pelabuhan LeHavre (Perancis). Freyssenet sebagai bapak beton pratekan segera diikuti jejaknya oleh para ahli lain dalam mengembangkan lebih lanjut jenis struktur ini. Tujuan pemberian gaya pratekan adalah timbul tegangan-tegangan awal yang berlawanan dengan tegangan- tegangan yang oleh beban-beban kerja. Dengan demikian konstruksi dapat memikul beban yang lebih besar tanpa merubah mutu betonnya.
Sebagai material komposit, sifat beton sangat tergantung pada sifat unsur masing-masing serta interaksi mereka. Ada 3 sistem umum yang melibatkan semen, yaitu pata semen, mortar dan beton. Unsur terurai dari beton terdiri dari semen, air agregat halus dan agregat kasar. Contoh agregat halus adalah pasir, sedangkan contoh agregat kasar adalah split (batu belah dengan ukurannya 5 – 10 mm).
Dalam upaya melakukan terobosan baru melalui litbang beton, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatan Pumice atau batu apung sebagai agregat kasar pengganti split karena batu apung memiliki bobot yang cukup ringan dibandingkan dengan split.
Batu apung (pumice) adalah jenis batuan yang berwarna terang, mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas, dan biasanya disebut juga sebagai batuan gelas volkanik silikat. Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunungapi yang mengeluarkan materialnya ke udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik. Batu apung mempunyai sifat vesicular yang tinggi, mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih gas alam yang terkandung di dalamnya, dan pada umumnya terdapat sebagai bahan lepas atau fragmen-fragmen dalam breksi gunungapi. Sedangkan mineral-mineral yang terdapat dalam batu apung adalah feldspar, kuarsa, obsidian, kristobalit, dan tridimit.
Keberadaan Batu apung selalu berkaitan dengan rangkaian gunungapi berumur Kuarter sampai Tersier. Penyebaran meliputi daerah Serang, Sukabumi, Pulau Lombok, dan Pulau Ternate.
Jenis batuan lainnya yang memiliki struktur fisika dan asal terbentuknya sama dengan batu apung adalah pumicit, volkanik cinter, dan scoria. Didasarkan pada cara pembentukan, distribusi ukuran partikel (fragmen), dan material asalnya, batu apung diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu: sub-areal, sub-aqueous, new ardante, dan hasil endapan ulang (redeposit).
Sifat kimia dan fisika batu apung antara lain, yaitu: mengandung oksida SiO2, Al2O3, Fe2O3, Na2O, K2O, MgO, CaO, TiO2, SO3, dan Cl, hilang pijar (Loss of Ignition) 6%, pH 5, bobot isi ruah 480 – 960 kg/cm3, peresapan air (water absorption) 16,67%, berat jenis 0,8 gr/cm3, hantaran suara (sound transmission) rendah, rasio kuat tekan terhadap beban tinggi, konduktifitas panas (thermal conductivity) rendah, dan ketahanan terhadap api sampai dengan 6 jam.
Berdasarkan spsesifikasi batu apung dengan rasio kuat tekan terhadap beban tinggi, konduktifitas panas rendah, dan ketahanan terhadap api tidak tertutup kemungkinan untuk dapat ditingkatkan segi manfaatnya misalnya diolah menjadi bata ringan, mengingat selama ini stock batu apung yang banyak diperoleh dipasaran hanya untuk keperluan menggosok panci atau pelengkap pot bunga saja.
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari dan mengetahui efektifitas dan efisienitas batu apung sebagai campuran dalam pembuatan beton. Efektifitas merujuk pada mutu, sedangkan efisienitas mengacu pada tingkat keborosan penggunaan bahan tambahan pembuatan beton tersebut.
Manfaat dari percobaan ini adalah untuk menambah pengetahuan teknik dan pemanfaatan batu apung dalam pembuatan beton sehingga dapat memberikan sumbangsih pengetahuan tentang bahan tambahan yang dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan pembuatan beton, karena dengan bobot beton yang relatif ringan maka pemanfaatannya untuk bahan bangunan khususnya bagi apartemen atau gedung bertingkat akan mendukung kekuatan konstruksi.

FENOMENA KOROSI

PERKARATAN BESI DALAM LINGKUNGAN ASAM KUAT
Korosi adalah gejala yang timbul secara alami, pengaruhnya dialami oleh hampir semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi, atau gejala yang destruktif yang mempengaruhi hampir semua logam. Korosi logam merupakan peristiwa kerusakan yang dapat dialami oleh berbagai jenis logam. Kerusakan logam terjadi akibat proses oksidasi yang berlangsung antara logam dengan lingkungannya.
Besi akan berkarat karena proses kimia (dalam lingkungan asam asam an-organik), air hujan dan cuaca (udara) sekitarnya. Asam asam an-organik (Asam sulfat, asam nitrat dan asam klorida) adalah larutan yang bersifat elektrolit (dapat menghantarkan arus listrik). Asam kuat ini terionisasi dalam air (pada saat pengenceran) sehingga menimbulkan daya hantar listrik. Larutan ini bereaksi terhadap besi dan konsentrasinya yang tinggi akan mempengaruhi kecepatan laju korosi pada besi. Karat pada besi berlangsung relative lebih cepat dalam lingkungan asam asam an-organik dibanding pada pengaruh air hujan maupun cuaca (udara), hal ini tentu saja disebabkan karena asam-asam an-organik sangat reaktif terhadap logam.
Ketahanan bahan logam terhadap serangan korosi amat ditentukan oleh sifat kimia bahan itu sendiri yaitu mudah atau sukarnya logam menyerap oksigen dari lingkungan. Disamping itu pula amat ditentukan oleh kondisi lingkungan disekitar bahan logam itu berada, misalnya logam yang berada dilingkungan udara panas cenderung terkorosi dibandingkan dengan logam yang berada dilingkungan normal. Begitu pula jika logam berada dilingkungan basah cenderung terkorosi dibandingkan dengan logam yang berada dilingkungan kering. Lebih mudah lagi korosi terjadi jika logam berada dilingkungan yang terdapat bahan kimia (asam kuat misalnya) dibandingkan dengan logam yang berada dilingkungan normal.
Proses korosi dapat terjadi pada banyak aspek kehidupan. Upaya manusia untuk menanggulangi korosi bergantung pada pengetahuan, kepentingan dan ketersediaan dana. Korosi merupakan kebalikan dari proses ekstraksi logam. Proses korosi dapat dipicu/ diperparah oleh keadaan lingkungan. Ilmu korosi adalah ilmu yang mempelajari mekanisne korosi sehingga memberi pemahaman yang lebih baik tentang penyebab korosi dan menemukan cara cara untuk meminimalkan kerugian akibat korosi. Pengaplikasian ilmu dan seni untuk mencegah atau mengendalikan kerusakan akibat korosi secara ekonomis dan aman disebut dengan istilah teknik korosi. Berbagai jenis istilah korosi yang banyak dijumpai dalam buku Ilmu Bahan seperti Korosi Merata, Korosi Galvanik, Korosi Celah, Korosi Sumuran, Environmentally Induced Cracking, SCC ( Stress Corrosion Cracking ), CFC ( Corrosion Fatigue Cracking ), HIC (Hydrogen Induced Cracking ), Hydrogen Damage, Korosi Intergranular, Dealloying atau Korosi Erosi dikemukan para technolog adalah berdasarkan kondisi material setelah peristiwa korosi itu terjadi. Beberapa cara yang dilakukan berbagai ahli untuk mengatasi atau memperlambat korosi yaitu :
1. Pada pembuatan logam diusahakan agar zat-zat yang dicampurkan (impurities) tersebar homogen dalam logam tersebut.
2 Melapisi permukaan logam dengan cat atau minyak, untuk mencegah kontak antara permukaan logam dengan udara.
3. Melakukan galvanisasi (penyalutan), misalnya besi disalut dengan lapisan tipis seng. Seng memiliki Eo lebih kecil dari pada besi, sehingga seng segera teroksidasi membentuk lapisan ZnO yang melindungi permukaan besi.
4. Korosi juga dapat diperlambat, dengan metode mengorbankan anode untuk melindungi katode. Beberapa logam yang lebih mudah mengalami oksidasi sengaja dikorbankan untuk meIindungi logam yang dikehendaki. Untuk melindungi besi dari korosi, di sekitar besi logam lain yang memiliki Eo lebih kecil, misalnya magnesium, lalu dihubungkan dengan besi melalui kawat. Akibatnya, logam magnesium lebih dahulu teroksidasi daripada besi. Metode ini banyak dipakai untuk melindungi pipa-pipa besi yang tertanam dalam tanah atau baling-baling kapal yang berada dibawah permukaan laut.

Rabu, 18 Maret 2009

MAINTENANCE DAN KALIBRASI


CARBOLITE FURNACE type GLM

Carbolite Furnace tipe GLM dengan controller tipe Eurotherm 808 adalah tungku annealing yang dapat bekerja dengan jangkauan suhu maksimum 1200 oC. Pemanas ini memiliki nama lain yaitu LAB line furnace dengan satu chamber sebagai ruang panas untuk sampel yang akan dipanggang. Chamber berdinding kaolin tahan suhu tinggi dan dilingkari heating element yang berhubungan dengan contactor dan control system. Selain itu, furnace dilengkapi pula dengan sebuah thermocouple Platinum Rhodium (Pt-Rh) untuk sensor suhu. Furnace dapat dihidupkan/ dimatikan hanya dengan menekan tombol I/O.
Maintenace dilakukan dengan tujuan untuk mengkondisikan carbolite furnace agar siap pakai dan dapat dimanfaatkan pada percobaan annealing berbagai jenis logam bahan struktur dan dukung.
Kegiatan diawali dengan identifikasi sistim koneksi antar komponen terkait, memasang socket power supply, melakukan uji operasi, melakukan kalibrasi lalu menyusun petunjuk operasi serta perawatan tungku. Hasil yang diharapkan setelah revitalisasi adalah Carbolite Furnace menjadi layak pakai dan siap digunakan.
Carbolite furnace yang memiliki jangkauan suhu sampai 1200 oC, ternyata pada bagian control temperature mengalami kerusakan lalu dilepaskan dari bodi furnace untuk diperbaiki. Didalam control temperature terdapat 1(satu) IC dan 3 (tiga) kondensator yang rusak. Perbaikan dilakukan dengan menyolder IC dan kondensator yang spesifikasinya sesuai. Seluruh komponen tersebut ditest satu persatu dengan avometer dan hubungan antar komponen dipastikan sudah sesuai. Pada test run yang dilakukan, carbolite furnace sudah berfungsi dengan baik.
Tungku dioperasikan pada suhu setting sampai 1000 oC selama 3 (tiga) jam. Setiap terjadi kenaikan suhu setting dilakukan pencatatan waktu dan pengukuran suhu ruang chamber. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat Kalibrator Digital Pyrometer.
Pelaksanaan kalibrasi dilakukan untuk mengetahui perubahan suhu yang sebenarnya terjadi pada ruang pemanas yaitu dengan memasang probe thermocouple. Data pengukuran yang terbaca pada display monitor digital dicatat pada setiap pertambahan suhu 100 oC dan dalam waktu yang bersamaan. Carbolite furnace type GLM dengan controller type Eurotherm 808 selesai direvitalisasi. Uji operasi tungku sampai suhu tertinggi yaitu 1000 oC memerlukan total waktu 3 jam. Kenaikan suhu ruang pemanas pada ruang chamber yang membedakan pembacaan suhu tungku dengan pembacaan suhu thermokopel kalibrator berkisar antara 10 oC sampai 24 oC atau atau kurang dari 3%. Kurva kalibrasi yang merupakan hubungan antara suhu furnace dengan waktu menunjukkan garis yang hampir berimpit, hal ini berarti Carbolite furnace memiliki deviasi suhu operasi relative rendah dengan kecepatan rambat panas rata-rata sebesar 15,25 oC/menit. Berdasarkan uji fungsi dan kalibrasi, dapat disimpulkan bahwa Carbolite Furnace telah laik operasi.

Jumat, 13 Maret 2009

UJI KEKERASAN MIKRO

HARDNESS VICKERS NUMBER (HVN)

Kekerasan merupakan ukuran ketahanan material terhadap deformasi tekan. Deformasi yang terjadi dapat berupa kombinasi perilaku elastis dan plastis. Pada permukaan dari dua komponen yang saling bersinggungan dan bergerak satu terhadap lainnya akan terjadi deformasi elastis maupun plastis. Deformasi elastis kemungkinan terjadi pada permukaan yang keras, sedangkan deformasi plastis terjadi pada permukaan yang lebih lunak. Pengaruh deformasi bergantung pada kekerasan permukaan material.
Ada beberapa cara pengukuran kekerasan yang cukup dikenal dalam litbang material diantaranya uji kekerasan gores, uji kekerasan pantul (dinamis) dan uji kekerasan indentasi. Uji kekerasan gores bergantung pada kemampuan gores material yang satu terhadap material lainnya. Uji kekerasan pantul mencakup deformasi dinamis dari permukaan material yang dinyatakan dalam jumlah energi impak yang diserap permukaan logam pada saat benda penekan jatuh. Uji kekerasan indentasi berupa penjejakan oleh sebuah indentor yang keras ditekankan kepermukaan logam yang diuji.
Pada percobaan yang dilakukan, ruang lingkup pengujian hanya dibatasi pada jenis uji kekerasan indentasi menggunakan alat model Leitz Micro Hardness. Perbedaan kekerasan dapat diketahui dari bentuk indentor yang ditekankan pada permukaan material. Alat penguji kekerasan memakai indentor berbentuk piramid ini dapat membuat jejakan pada material dengan sejumlah pembebanan tertentu. Masa penjejakan berlangsung 30 detik dan dapat menghasilkan ketelitian antara 2 - 3 mm. Panjang diagonal jejakan yang diukur pada arah horisontal ditandai sebagai d-1 dan panjang diagonal jejakan pada arah vertikal ditandai sebagai d-2, lalu dihitung d-rerata sebagai panjang diagonal jejakan. Nilai kekerasan material uji dicari pada tabel yang tersedia dengan memproyeksikan d-rerata serta bobot beban yang digunakan, adapun satuan kekerasan vicker's dinyatakan sebagai HVN (Hardness Vicker's Number).
Nilai kekerasan berkaitan dengan kekuatan luluh atau tarik logam, karena selama indentasi (penjejakan) logam mengalami deformasi sehingga terjadi regangan dengan persentase tertentu. Nilai kekerasan Vickers didefinisikan sama dengan beban dibagi luas jejak piramida (indentor) dalam kg/mm2 dan besarnya kurang lebih tiga kali besar tegangan luluh untuk logam-logam yang tidak mengalami pengerjaan pengerasan cukup berarti.

Kamis, 12 Maret 2009

HASIL RANCANG BANGUN ( 3 )

TUNGKU PERLAKUAN PANAS

Penelitian bahan struktur pada umumnya membahas mengenai perubahan strukturmikro, komposisi, kekuatan tarik, kekerasan, ketahanan korosi dan sebagainya yang banyak berhubungan dengan kondisi perlakuan panas. Perubahan strukturmikro dan komposisi terutama setelah logam mengalami perlakuan panas akan mempengaruhi sifat mekanik. Percobaan melalui proses perlakuan panas memberikan data/ informasi tentang karakteristik yang cukup penting untuk pengembangan suatu bahan struktur.
Dalam hal perlakuan panas bahan struktur, telah dibuat tungku listrik (heat treatment furnace) yang memadai yaitu tungku dengan kondisi gas inert. Gas inert (argon) dibutuhkan untuk proses sinter dibawah suhu 1000 oC. Untuk pelaksanaan casting logam non-ferro dapat digunakan sebuah krusibel yang ditempatkan pada ruang chamber. Dimensi chamber dalam bentuk kubus 36x36x36 Cm3 memungkinkan pemakaian krusibel dengan berbagai ukuran. Jangkauan suhu sampai 1000 oC tersebut didukung oleh adanya jenis elemen pemanas jenis Kanthal yang terbentang dengan formasi seri disepanjang 3(tiga) bidang ruang chamber. Ruang chamber dirancang sedemikian rupa terdiri dari 4 (empat) lapis penyekat meliputi batu tahan api setebal 6,5 Cm, Unifiber rockwool tipe R850 (Kao wool) setebal 2,25 Cm, Unifiber rockwool tipe M450 (Glass wool) setebal 2,25 Cm dan plat steel (dinding luar) setebal 3 mm sehingga mampu menahan kehilangan panas sekecil mungkin.
Dirancang-bangun peralatan tersebut adalah dalam rangka penguasaan teknologi pembuatan tungku yang mendukung kebutuhan peralatan litbang bahan struktur. Studi yang dilakukan difokuskan pada perhitungan kebutuhan elemen pemanas, perhitungan neraca panas, pemilihan bahan dan komponen, cara menyusun lapisan penahan panas untuk ruang chamber, instalasi listrik serta teknik perawatannya.

HASIL RANCANG BANGUN ( 2 )

ALAT ADUK LOGAM COR

Pada pengecoran logam paduan Aluminium, penambahan unsur-unsur pemadu seperti Mn (Mangan), Mg (Magnesium) maupun unsur-unsur pengotor seperti Fe (Besi), Cu (Tembaga) dan lainnya, dilakukan setelah skrap logam AlMg2 dilebur menggunakan melting furnace. Pada saat skrap logam mencair, diperlukan proses pengadukan guna meningkatkan homogenitas unsur-unsur paduan pada logam produk cor. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, telah dibuat 1 (satu) unit alat aduk logam cor yang dapat berputar dengan kapasitas antara 50 – 150 Rpm. Unit alat aduk terdiri dari sebuah dinamo 40 Watt yang bagian ujung porosnya terdapat pemegang tangkai aduk dengan konstruksi vertikal krusibel. Dudukan alat aduk sekaligus berfungsi sebagai tutup krusibel sehingga proses pengadukan logam cair dapat dilakukan lebih aman.
Unit pengaduk logam cor digunakan sebagai sarana dukung pada proses pembuatan logam paduan khususnya logam paduan Aluminium (AlMg2 atau AlMgSi) dengan cara casting. Tujuan rancang-bangun alat aduk logam cor ini adalah untuk meningkatkan homogenitas pada penambahan unsur paduan dengan unsur utama dari logam produk tuang dengan cara pengadukan.

APLIKASI MIKROSKOP OPTIK



STRUKTUR MIKRO LOGAM

Mutu hasil proses peleburan logam aluminium dapat diketahui dengan cara menganalisa mikrostrukturnya yaitu melalui teknik metalografi atau mikroskopi. Keadaan mikrostruktur, dalam hal ini grain size (ukuran butir) sangat berpengaruh terhadap sifat mekanis logam. Pengerjaan metalografi terhadap coran logam akan menampilkan mikrostruktur yang membantu interpretasi kualitatif maupun kuantitatif.
Tahapan pekerjaan yang dilakukan untuk menganalisa mikrostruktur coran logam seperti paduan Aluminium meliputi Sampling-cutting­sectioning (pencuplikan), coarse grinding (pengasahan kasar), mounting (penanaman), fine grinding (pengasahan halus), rough polishing (pemolesan kasar), pemolesan akhir, selanjutnya coran Aluminium dietsa dengan reagen dari campuran beberapa bahan kimia antara lain: 10 mL HCl + 30 mL HN03 + 5 gr FeCl3 + 20 ml H2O.
Pada pengetsaan logam problema yang biasanya dialami adalah dalam hal mendapatkan gambar butir-butir kontras yang membedakan butiran satu dengan lainnya. Tampilan gambar kontras yang diamati melalui mikroskop akan sangat membantu interpretasi kualitatif maupun kuantitatif yang berkaitan dengan keberhasilan dalam peng­analisaan bahan. Beberapa metode pengetsaan yang umum dilakukan antara lain adalah metode optik, elektrokimia (kimia), dan fisika. Etching dengan metode kimia kiranya yang paling praktis dan dilakukan dalam percobaan ini. Dalam teknik etching larutan pengetsa bereaksi dengan permukaan cuplikan tanpa menggunakan arus lis­trik. Peristiwa etching metode ini berlangsung oleh adanya pelarutan selektif sesuai dengan karakteristik elektrokimia yang dimiliki oleh masing-masing area per­mukaan bahan. Selama pengetsaan, ion-ion positif dari logam me­ninggalkan permukaan bahan uji lalu berdifusi kedalam elektrolit ekivalen dengan sejumlah elektron yang ter­dapat dalam bahan tersebut. Dalam proses etching secara langsung, apabila ion metal tersebut meninggalkan permukaan bahan lalu bereak­si dengan ion-ion non logam dalam elektrolit sehingga membentuk senyawa tak larut, maka lapisan presipitasi akan terbentuk menempel pada permukaan bahan dengan berbagai jenis ketebalan. Ketebalan lapisan ini sebagai fungsi dari komposisi dan orientasi struktur mikro yang lepas kedalam larutan. Lapisan ini dapat menampilkan interferensi corak warna disebabkan karena variasi ketebalan lapisan dan ditentukan oleh mikrostruktur logam yang ada dibawahnya.
Cuplikan yang merupakan potongan-potongan bagian dalam aluminium hasil tuang diamati dengan Optical Microsco­py lalu dilakukan pemotretan. Pengamatan pada foto mikrostruktur, secara umum memperlihatkan adanya bentuk matrik induk yang bewarna terang dan partikel-partikel bewarna gelap yang mengarah kebatas butir. Jumlah partikel yang bewarna gelap pada benda hasil tuang umumnya tergantung pada kecepatan laju pendinginan. Semakin cepat laju pendingi­nan, maka kecepatan pertumbuhan butir akan lebih rendah dari pada kecepatan nukleasi, sehingga butir yang diha­silkan menjadi halus sehingga kekerasan dan kekuatan tarik akan tinggi.
Berdasarkan pengalaman teknis metalografi maka untuk mendapatkan tampilan permukaan logam yang kontras khususnya batas antar butir, faktor yang menentukan pada prin­sipnya adalah keterampilan teknisi dalam preparasi sampel mulai dari Pencuplikan sampai Pemole­san. Selanjutnya, pada saat pengetsaan maka faktor yang menentukan keberhasilan adalah pengetahuan dalam memilih formula etsa berikut metodenya yang tepat. Faktor lain yang juga cukup penting adalah kemampuan dalam mengaplikasikan mikroskop terutama teknik pengaturan cahaya serta fokus gambar batas antar butir logam.

Rabu, 25 Februari 2009

HASIL RANCANG BANGUN ( 1 )


VIBRATOR LOGAM COR NON FEROUS

Pengecoran (casting) merupakan salah satu metoda pembentukan logam dengan cara memanaskan logam sampai titik leburnya dan dilanjutkan dengan penuangan logam cair kedalam suatu cetakan sampai terjadi pembekuan. Dalam proses pengecoran terdapat berbagai fenomena yang berhubungan dengan masalah karakteristik logam yang diinginkan, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kekuatan logam produk cor. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan logam dipengaruhi oleh keadaan ukuran butir, makin halus ukuran butir maka kekerasan semakin meningkat. Upaya memperhalus ukuran butir dilakukan dengan cara memberikan getaran (vibrasi) pada cetakan logam pada saat dilakukan penuangan logam cair. Dalam proses pembekuan logam cor, getaran pada frequensi tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan struktur mikro logam. Landasan teori yang berkenaan dengan masalah tersebut menyatakan bahwa getaran mengakibatkan terjadinya fragmentasi atau penghancuran kristal awal (dendrit) sehingga terjadi peningkatan jumlah nukleasi pada logam cair. Nukleasi terjadi tanpa adanya unsur-unsur asing dan inti butir yang dihasilkan semata-mata berasal dari fasa cair. Proses demikian dikenal dengan nama nukleasi homogen. Dalam pengertian umum, nukleasi adalah terbentuknya titik-titik dalam fasa cair dimana pada titik-titik tersebut sejumlah atom dapat diendapkan untuk tumbuh menjadi kristal padat. Proses transformasi diawali dengan pemben-tukan partikel padat yang sangat kecil yang disebut inti (nuklei) disepanjang dinding cetakan. Selanjutnya terjadi pertumbuhan inti menjadi kristal. Meningkatnya jumlah nukleasi yang disebabkan penghancuran kristal awal (dendrit) oleh getaran (vibrasi) akan menghasilkan logam cor dengan ukuran butir yang halus. Percobaan dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari efek perlakuan getar terhadap pertumbuhan butir dan kekerasan logam paduan AlMg2 berdasarkan lama waktu getar dan tinggi frequensi getar. Pada percobaan tersebut, energi tambahan (getaran) yang diberikan adalah bersumber dari perlakuan vibrasi. Dengan meningkatnya kekuatan getar (frequensi) maka energi atom batas butir selama proses nukleasi akan lebih efektif menghancurkan lengan-lengan dendrit dan menghambat pertumbuhan kristal awal. Semakin tinggi freqwensi getaran yang diberikan, semakin meningkat pula jumlah nukleasi sehingga akan dihasilkan logam cor dengan ukuran butir yang halus. Vibrasi yang dilakukan pada proses pembekuan logam cair AlMg2 dapat memperhalus ukuran butir sehingga meningkatkan kekerasan material.

PELEBURAN ALUMINIUM

DAUR ULANG LIMBAH PLASTIK BER-ALUMINIUM FOIL

Penelitian daur ulang sampah bungkus minuman instan yang mengandung aluminium foil (lapisan tipis dibagian dalam bungkus) dilakukan untuk mengetahui mutu produk teknologi proses peleburan yang dilakukan dengan cara konvensional.
Aluminium merupakan bahan logam yang banyak digunakan dalam berbagai keperluan seperti untuk melapisi badan pesawat terbang, untuk perabot rumah tangga, untuk kaleng minuman karena mampu memberikan kekuatan mekanik yang baik, tahan korosi, serta memiliki mampu-cor yang baik.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji teknologi pemungutan kembali unsur aluminium yang menempel dibagian dalam sampah plastik kemasan minuman instan. Disamping itu juga dilakukan analisis mikrostruktur dan kekerasan mikro guna mengetahui mutu produk daur ulang tersebut.
Bertitik tolak pada kesulitan - kesulitan dalam penanganan sampah non-organik maka penulis melakukan suatu observasi langsung ke tempat daur ulang sampah plastik aluminium foil dan penelitian mutu produk dengan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah teknologi sederhana untuk mendaur-ulang sampah plastik yang mengandung selaput aluminium foil sehingga dapat diperoleh aluminium batangan dan bagaimanakah mutu produk Aluminium ditinjau dari segi mikrostruktur dan kekerasan mikronya ?”
Bahan-bahan yang diperlukan pada proses daur ulang ini meliputi bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama adalah bahan baku yang terdiri dari sampah bungkus minuman instan atau bungkus obat yang mengandung aluminium foil dan jika ada ditambah anfalan (barang rongsokan) seperti kaleng minuman, potongan plat atau pipa aluminium. Bahan pendukungnya berupa greyhon, dibutuhkan pada saat menyalakan api. Greyhon adalah bahan aditif yang berfungsi untuk meningkatkan nyala api dan memisahkan lagam murni dari oksidanya. Oksida atau pengotor akan mengambang diatas permukaan logam cair dan dibuang dengan menggunakan centong.
Adapun alat peleburan terdiri dari Termokopel untuk mengukur temperatur peleburan, besi pengaduk untuk meratakan nyala api, centong untuk menuangkan cairan aluminium, tungku peleburan dari drum yang bagian dalamnya dilapis bata tahan api dan cetakan terbuat dari baja untuk membekukan cairan aluminium. Cetakan aluminium cair ini memiliki ukuran panjang 56 Cm, lebar 13,5 Cm sedangkan ketebalannya 6,0 Cm. Tungku termasuk semua peralatan masih terbelakang dan ini sengaja diciptakan untuk menghemat biaya produksi. Tungku yang dipakai berjumlah 9 buah ini kalau dioperasikan secara maksimal akan menghasilkan 10 batang alumunium atau kalau bahan bakunya cukup baik akan menghasilkan ±1 kwintal logam aluminium perhari. Berikut ini sebuah tayangan video mengenai teknik penuangan/ pencetakan logam cair. Proses yang dilakukan tidak konvensional namun semi modern dan diunduh dari youtube untuk sekedar menambah pengetahuan mengenai kondisi bengkel peleburan aluminium.

Pada proses peleburan ini, mula-mula sampah kemasan aluminium foil dimasukkan secara bertahap yaitu kira-kira 50% dari kapasitas tungku. Selanjutnya masukkan greyhon (bahan bakar) yang dibungkus dengan grenjeng (kertas timah rokok) dan dinyalakan apinya. Ketika api mulai menyala greyhon terus ditambahkan hingga api membesar. Setelah itu semua bahan utama dan anfalan (barang rongsokan) aluminium dimasukkan sampai tungku penuh. Petugas terus menekan-nekan bungkus aluminium foil untuk membantu mempercepat proses pencairan. Selama proses berlangsung, suhu lebur logam dipantau dengan termo-kopel. Apabila telah terjadi pencairan logam aluminium kemudian kotoran yang mengapung dalam bentuk terak dibuang memakai centong. Penuangan logam cair Aluminium ke cetakan baja juga dilakukan menggunakan centong. Pembekuan logam cair dengan udara terbuka sampai menjadi dingin dan aman dipegang berlangsung selama 10-12 jam. Setelah beberapa saat logam cair membeku selanjutnya coran dikeluarkan dari dalam cetakan. Coran tersebut kemudian dipreparasi untuk dianalisa mikrostrukturnya menggunakan alat mikroskop optik dan diuji kekerasannya menggunakan alat micro hardness tester.